Percaya atau tidak, Indonesia masih menjadi negara eksportir kopi terbesar di dunia. Jumlahnya mengungguli Ethiopia dengan jumlah ekspor mencapai kisaran 660.000 ton per tahun. Sedangkan, Ethiopia mencapai 384.000 ton per tahun. Setelah berhasil mengembangkan kopi di tanah Jawa, pada 1833 Belanda mulai memasuki daerah Mandheling dan menemukan area pegunungan yang menurutnya sesuai untuk menanam dan mengembangkan kopi berkualitas.
Nama Mandheling sendiri adalah penyebutan masyarakat asing terhadap penyebutan kata Mandailing. Nama tersebut diambil dari salah satu nama suku di Sumatera Utara.
Dua tahun setelahnya, perusahaan Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) milik Raja Willem I berupaya untuk menggerakan perekonomian pada komoditas kopi dengan melakukan penanaman bibit berskala 2.800.000 batang kopi di Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Penanaman dilakukan di perkebunan kopi area pegunungan Pakantan, Ulu Pungkut, Katonapan, Puncak Sorik Merapi, serta Batang Natal.
Saat itu, permintaan terhadap Kopi Mandailing terbilang tinggi, bahkan mampu menembus pasar dunia. Negara-negara yang mengimpor Kopi Mandailing kala itu meliputi, Benua Amerika, Asia, Jazirah Arab dan Eropa. Hal tersebut menjadi sebuah apresiasi bagi petani Kopi Mandailing.
Sempat Tenggelam
Ketika yang tumbuh mulai patah, kata tersebut tepat untuk mendeskripsikan masa kejayaan Kopi Mandailing. Masa kejayaan yang pernah diraih, ternyata tidak selamanya dirasakan pasca kemerdekaan Indonesia. Hal ini diakibatkan lantaran kurangnya perhatian pemerintah terhadap Kopi Mandailing saat itu. Biji kopi yang ditanam tidak terpelihara dengan baik, meskipun masih ada beberapa petani yang menekuni kegiatan penanaman Kopi Mandailing.
Tahun 1980 hingga 1985, pemerintah membuat program penanaman pohon kayu kulit manis. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya beberapa pohon kopi tua ditebang.
Memasuki era krisis moneter sekitar 1998 hingga 2000, keadaan komoditi kopi semakin menurun. Para petani mulai meninggalkan perkebunan, karena merasa tidak mampu untuk bangkit.
Sepuluh tahun setelah menghadapi krisis, Pemerintah Kabupaten Madina berupaya untuk membangkitkan gairah para petani Kopi Mandailing. Hal tersebut dilakukan melalui pembagian bibit kopi dan pupuk. Namun, upaya tersebut masih belum sesuai dengan harapan. Karena, para petani merasa belum mumpuni untuk menanamkan biji kopi dan terhalang oleh biaya dalam melakukan penanaman, serta merawat kopi tersebut. Ini menjadi kekhawatiran dan kendala pada saat itu. Melihat kemampuan petani di tahun tersebut mulai sirna secara perlahan. Jelas, pemerintah merasa kehilangan akan hal itu.
Seiring dengan berjalannya waktu, tahun 2014 Pemerintah Kabupaten Madina melakukan upaya (lagi) dengan mencanangkan gerakan yang juga melibatkan pihak lain, yaitu beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Adapun LSM yang terlibat meliputi Sumatera Rainforest Institute (SRI), Batang Pungkut Green Conservation (BPGC) untuk mensosialisasikan dan memberikan pemahaman akan pentingnya komoditi kopi bagi masyarakat, sehingga mampu mengembalikan semangat petani kopi.
Kini, kopi Mandailing menjadi salah satu kopi premium Indonesia dan kopi pilihan bagi masyarakat. Para penikmat kopi tidak akan kesulitan untuk mendapati kopi dari tanah Sumatera ini. Karena, kopi tersebut tersedia di beberapa home brewing di kota-kota besar, lho!
Sudahkah Gordian mencicipi Kopi Mandailing? Jika sudah, pengalaman rasa apa yang diberikan? Yuk, ulas pengalaman rasa Kopi Mandailing Anda di kolom komentar!